| Senin 30 Jan 2017 16:55 WIB | 2964
Meski terjadi penurunan, angka penjualan kendaraan bermotor masih cukup
tinggi. Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia
mencatat penjualan dealer mencapai kisaran 92 ribu unit selama September
2016. Untuk sepeda motor, Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia
(AISI) menunjukkan, total penjualan seluruh merek pada kuartal III 2016
sebanyak 1,38 juta unit.
Salah satu bos leasing
terkemuka, PT Adira Finance Willy Suwandi menjelaskan, mayoritas pembeli
kendaraan bermotor masih menggunakan skema kredit. Setidaknya, ada 80
persen yang memilih cara mengangsur, sedangkan sisanya kontan. Hanya,
pembelian lewat kredit memang selalu lebih mahal ketimbang kontan.
Risiko yang ditanggung penjual karena
pembayaran yang tidak tunai pun menjadi alasan kemahalan tersebut
terjadi. Lantas, apakah kemahalan tersebut termasuk riba yang diharamkan
agama? Bagaimana Islam sebenarnya mengatur tentang kredit?
Majelis Tarjih PP Muhammadiyah menjelaskan, hukum asal dalam muamalah
adalah mubah, kecuali terdapat nas shahih dan sharih yang melarang dan
mengharamkannya. Berbeda dengan ibadah mahdhah, hukum asalnya adalah
haram kecuali ada ayat yang memerintahkan untuk melakukanya. Dengan
demikian, tidak perlu mempertanyakan dalil yang mengakui keabsahan
sebuah transaksi muamalah. Sepanjang tidak terdapat dalil yang
melarangnya, transaksi muamalah sah dan halal.
Jika dilihat
dari ayat Alquran maka jual beli secara umum dihalalkan. Riba merupakan
hal yang diharamkan. QS al-Baqarah ayat 275, "... padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS al-Baqarah: 275).
Adanya unsur tolong-menolong dalam transaksi jual beli kredit
dikarenakan pembeli memungkinkan untuk mendapatkan barang yang
dibutuhkan tanpa harus langsung membayarnya. Prinsip tolong-menolong ini
sesuai dengan semangat Alquran surah al-Maidah ayat 2, "Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran."
Di
dalam Alquran pun tertera jelas tentang bagaimana ketentuan jual beli
tidak secara tunai. "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya." (QS al-Baqarah: 282).
Meski demikian, ada
sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah tentang dua transaksi
dalam satu akad. "Dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa
menjual dua transaksi dalam satu transaksi maka baginya kerugiannya atau
riba". [HR at-Tirmidzi, Abu Dawud, dan al-Baihaqi). Majelis Tarjih
menjelaskan, ulama menafsirkan dua akad dalam satu transaksi tersebut
adalah ketika penjual menyebutkan harga jual baik dengan kontan maupun
lewat kredit tanpa ada kesepakatan.
Misalnya, seseorang
berkata, "Aku jual sepeda motor ini, tunai seharga Rp 12 juta, kredit Rp
15 juta," kemudian keduanya berpisah dari majelis akad tanpa ada
kesepakatan pembelian, tunai atau kredit. Maka, akad jual beli ini batal
adanya. Adapun ketika pembeli menentukan satu pilihan dari dua opsi
yang ditawarkan maka jual beli itu sah dan berlaku atas harga yang
disepakati.
Kepentingan penjual untuk menaikkan harga jual
lebih tinggi dari harga tunai karena penambahan jangka waktu pembayaran
adalah sebagai bagian dari harga jual tersebut, bukan sebagai kompensasi
waktu semata yang tergolong riba. Sudah menjadi hal lumrah bahwa sebuah
komoditas mempunyai nilai yang berbeda dan bisa berubah nilainya dari
masa ke masa. Di antara jumhur ulama fikih yang berpendapat demikian
adalah al-Ahnaf, para pengikut Imam asy-Syafi'i, Zaid bin Ali, dan
Muayyid Billah.
Transaksi muamalah dibangun atas asas maslahat.
Syara' datang untuk mempermudah urusan manusia dan meringankan beban
yang ditanggungnya. Syara' juga tidak akan melarang bentuk transaksi
kecuali terdapat unsur kezaliman di dalamnya. Contohnya riba,
penimbunan, penipuan, dan lainnya. Jual beli kredit akan menjadi
maslahat bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah yang memungkinkan
untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan dengan keterbatasan dana yang
dimiliki.
Dengan demikian, jual beli komoditas dengan cara
kredit yang termasuk di dalamnya kendaraan bermotor, bukanlah transaksi
utang piutang ataupun transaksi atas barang ribawi. Transaksi tersebut
adalah jual beli murni yang keabsahannya diakui oleh syariat. Tentunya,
dengan ketentuan-ketentuan yang telah tersebut di atas. Hanya, ada
kalanya pembeli melakukan pengajuan kredit lewat lembaga pembiayaan atau
leasing.
Saat ini pun ada leasing yang sudah berstatus syariah. Bedanya dengan leasing konvensional, yakni leasing tersebut menggunakan akad murabahah atau jual beli. Dengan demikian, margin keuntungan pihak leasing dapat diketahui di awal. Leasing syariah juga tidak mengenal bunga harian yang jadi pendapatan saat pihak pembeli tak mampu melunasi setelah jatuh tempo.
Sementara itu, Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
menjelaskan, transaksi jual beli secara kredit hukumnya sah dan halal
asalkan akad (transaksinya) antara penjual dan pembeli dilakukan secara
jelas (aqd sharih). Artinya, penjual dan pembeli sama-sama mengetahui
dan terdapat kesepakatan harga barang dan batas waktu pada saat akad.
Transaksi jual beli secara kredit dengan
harga yang lebih tinggi dibanding membeli secara kontan hukumnya sah dan
halal. Dengan syarat, transaksi antara penjual dan pembeli dilakukan
dengan aqd sharih 'adam al jahalah (dilakukan secara jujur dan
menyepakati batas waktu dan harga barang).
Jangan sampai barang
sudah dibawa pulang sementara antara penjual dan pembeli belum ada
kesepakatan, apakah membeli secara tunai atau kontan. Sehingga, si
pembeli memutuskan sendiri dalam akadnya setelah beberapa waktu dari
waktu transaksi. Ketidakjelasan seperti ini hukumnya haram karena
akadnya tidak jelas.