Di Indonesia yang merupakan negara demokrasi, menurut Nur, menganut monogami seperti dalam UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang mengatur syarat yang sulit untuk berpoligami.
Dalam Pasal 3 ayat 1 disebutkan, "Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami".
Nur mengatakan ayat untuk monogami tidak banyak dimunculkan karena ulama perempuan masih sedikit.
Sejumlah kalangan menyebutkan poligami merupakan salah satu bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT. Selain itu KDRT juga meliputi kekerasan fisik, psikologis dan ekonomi.
Ketua Pengurus Pusat Aisyiah Siti Aisyah mengatakan banyak perempuan yang enggan mengungkapkan dirinya menjadi korban KDRT, karena seringkali tindakan itu menggunakan legitimasi agama.
"Sebenarnya mereka memahami Al-Qur'an hanya
tekstual saja, kebanyakan mengacu pada fiqih-fiqih, seolah-olah tak
berani untuk mengubah padahal mereka tak tahu kalau itu sebenarnya
paham, paham kan bisa berbeda," kata Siti seperti dimuat di BBC.
Siti mengatakan untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan ini dilakukan melalui dakwah yang dilakukan ulama perempuan.
Justifikasi agama
Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuni Chuzaifah mengatakan dalam temuan Komnas Perempuan kasus kekerasan terhadap perempuan banyak yang menggunakan justifikasi agama.
"Kekerasan banyak mengunakan justifikasi agama seperti perkawinan lebih dari satu, meskipun tidak selalu dalam tradisi Islam, tafsir agama itu sering kali didominasi ulama-ulama yang tidak selalu ramah terhadap perempuan," kata Yuni.
Dia berharap kongres ulama perempuan ini dapat menyadarkan para ulama patriarkal, dan memberikan ruang pada ulama perempuan untuk menjawab persoalan di masyarakat.
Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang pertama kali digelar ini akan menghasilkan fatwa keagamaan mengenai sejumlah masalah utama yaitu perkawinan anak, kekerasan seksual dan perusakan alam.(***)