News, Ekonomi

Rohingya Telah Tinggalkan Rakhine Tempat Penjajahan

| Sabtu 09 Sep 2017 13:07 WIB | 2096




MATAKEPRI.COM, Yangon- Puluhan ribu orang Rohingya telah meninggalkan negara bagian Rakhine, Myanmar, menyelamatkan diri dari kekerasan. Banyak dari mereka berkisah tentang pembunuhan, pemerkosaan dan bahkan pembantaian.

Di lepas pantai selatan Bangladesh, deretan kapal nelayan berbentuk melengkung bagai sabit bergerak mendekati pantai, menentang angin kencang yang berbahaya.

Saat mereka mendekat, tampak jelas bahwa perahu-perahu itu sarat dengan manusia. Perempuan di lantai perahu, sebagian bersama anak-anak, kaum laki-laki dewasa berjejer di tepi perahu.

Inilah kapal bermuatan kaum Muslim Rohingya, yang melarikan diri dari negara bagian Takhine, Myanmar.Warga Bangladesh di kampung itu berkumpul di tepi pantai dengan resah. "Lewat sini, ke sini!" teriak mereka sambil menuntun perahu ke perairan dangkal.


Begitu menyentuh garis pantai dekat Shamlapur itu, sejumlah pria melompat. Para wanita dan anak-anak dibantu turun. Ada pasangan yang hampir jatuh saat kaki mereka tersandung.

Rute langsung melintasi sungai Naf tidak dapat diakses lagi. Pihak berwenang Bangladesh telah menutup jalur itu untuk mencegah kedatangan kaum Rohingya dari arah itu setelah beberapa orang minoritas Muslim Myanmar itu tenggelam dalam upaya mereka menyeberangi perbatasan.

Jadi mereka mengambil jalan memutar, menuju ke laut terlebih dahulu sebelum kembali. Sebuah perjalanan yang harusnya memakan waktu kurang dari satu jam jadi harus menempuh sekitar enam sampai delapan.

Saat orang-orang Rohingya tu mencapai pantai, mereka langsung ambruk bertumpang tindih. Banyak yang terlihat linglung dan bingung setelah menempuh pelayaran. Yang lainnya tampak mengalami dehidrasi, beberapa muntah-muntah.

Ada pula, juga kaum pria, yang kemudian terisak tak terkendali, tubuh mereka terengah-engah. Mereka seakan tidak percaya bahwa mereka hidup. Yang lain dipinjami telepon genggam oleh penduduk setempat sehingga mereka bisa menelpon keluarga tercinta dan mengabarkan keberhasilan mereka mencapai Bangladesh.

Seorang perempuan paruh baya, yang berpakaian hitam, menatap cakrawala dengan cemas, dengan tangan melindungi matanya.

Rohima Khatun sedang menunggu adiknya. Hampir dua pekan sebelumnya, desa mereka di distrik Maungdaw Myanmar diserang. Mereka dengan terburu-buru lari menyelamatkan diri, lalu terpisah. Dia berhasil menyeberang ke Bangladesh, dan datang ke tepi pantai setiap hari, berharap saudaranya Nabi Hasan ada di antara ratusan orang yang datang melalui laut.

Saat kapal keempat mencapai pantai, dia menjerit dan mulai berlari.

Seorang pemuda terpincang-pincang di seberang pantai dan keduanya kemudian berangkulan, dengan tersedu-sedu.

Nabi Hasan and his sister Rohima Khatun

Nabi Hasan dan kakaknya Rohima Khatun sebelumnya tak tahu bahwa mreka akan bisa bertemu lagi satu sama lain dalam keadaan hidup.(Varun Nayar/BBC)

"Ya Allah, ya Allah," gumamnya terus-menerus, bergerak ke depan dan ke belakang.

"Saya tidak menyangka akan melihat kamu lagi," kata Nabi Hasan sambil menyeka air mata kakak perempuannya.

"Desa kami diserang oleh militer," kata mereka, "juga oleh Mogs," katanya merujuk pada komunitas etnis Buddhis yang tinggal di Rakhine.

"Kami berdua adalah satu-satunya di antara 10 anggota keluarga kami yang selamat," kata mereka.

Saya menghampiri orang-orang lain di sekitar kelompok itu dan mendapatkan berbagai kesaksian serupa.

Dil Bahar, perempuan berusia enam puluhan, terisak tak terkendali. Suaminya, Zakir Mamun, pria ringkih berjenggot tipis, berdiri di belakangnya.

Seorang anak laki-laki remaja bersama mereka, lengannya terbungkus balut buatan sendiri.

Rohingya woman cryingPara pengungsi seperti Dil Bahar ini mengalami trauma dan kelelahan - dan menyimpan kisah-kisah penderitaan yang mengerikan. (Varun Nayar/BBC)


Wajahnya menyeringai kesakitan.

"Dia cucuku, Mahbub," kata Dil Bahar. "Dia ditembak pada lengannya."

"Ini pembantaian," bisik Zakir Mamun, menatap kami.

Desa mereka berada di Buthidaung, sekitar 50km dari perbatasan Bangladesh.

Serangan tersebut tampaknya terjadi tanpa peringatan apapun.

"Mereka datang menyasar kami," kata Zakir pada saya. "Melalui pengeras suara, militer memerintahkan kami masuk rumah. Kemudian militer dan orang-orang melemparkan bom ke rumah kami, membakarnya."

Mereka mengatakan bahwa ketika warga desa mencoba untuk pergi, para penyerang melepaskan tembakan.

"Orang-orang jatuh terjerembab terkena tembakan," kata Zakir. "Kami berlari ke gunung dan bersembunyi."


Rohingya manZakir Mamun mengatakan bahwa tentara Burma menyerang desa-desa mereka. (Varun Nayar/BBC)

Tapi anaknya, ayah Mahbub, terbunuh.

"Sepanjang malam kami bisa mendengar mereka menembaki, 'roket-roket' berlesatan," kata Zakir.

Keesokan paginya, mereka melihat desa mereka tinggal puing. Asap membumbung dari rumah-rumah yang membara.

"Semuanya musnah," katanya.

Keluarga tersebut mengumpulkan berbagai peralatan yang tidak hancur, mengumpulkan padi yang tertinggal lalu pergi.

Mereka berjalan kaki selama 12 hari, melintasi dua gunung dan menembus hutan-hutan.

"Nasi kami habis pada hari kedelapan," kata Zakir. "Kami tidak makan apa-apa lagi, kami bertahan dengan menyantap tanaman dan minum air hujan."

Tidak ada cara untuk memverifikasi secara independen pengakuan-pengakuan ini. Akses ke negara bagian Rakhine sangat terbatas.

Militer Myanmar membantah semua tuduhan itu dan mengatakan bahwa mereka hanya memburu militan Rohingya yang menyerang pos polisi.

Seperti yang dilansir oleh detiknews, Kelompok pengungsi tersebut kini telah dipindahkan ke sebuah kamp pengungsi yang luas di Balukhali. Mahbub telah dibawa ke sebuah klinik yang dikelola oleh IOM, Organisasi Migrasi Internasional, pembalutnya telah diganti dan lukanya dirawat.



Boy shows alleged gunshot wounds
Sebagian yang datang memiliki tanda luka yang disebutkan sebagai bekas luka tembakan. (Varun Nayar/BBC)

Kamp pengungsi ini adalah rumah sementara mereka hingga masa depan yang tak bisa diperkirakan. Tenda mereka terbuat dari lembaran plastik sederhana yang diregangkan pada tiang-tiang bambu. Pasokan air di kamp itu mengandalkan air hujan.

Tapi kelegaan bahwa mereka tetap hidup dan lumayan aman, mengatasi seluruh emosi lainnya.

"Saya senang berada di Bangladesh," kata Zakir. "Ini sebuah negara Muslim, dan kami aman di sini."(***)




Share on Social Media