Nasional , News, Ekonomi

Begini Langkah Airlangga Hartarto untuk Lawan Eropa Atas Diskriminasi Sawit

| Jumat 07 Feb 2020 17:47 WIB | 1943

Menteri/Wamen


Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. (Ist)


MATAKEPRI.COM JAKARTA -- Indonesia bersama negara-negara lain yang tergabung dalam Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) kian matang dalam melawan Uni Eropa (UE) terkait diskriminasi terhadap minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO).


Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, saat ini pemerintah bersama negara anggota CPOPC lainnya akan segera mengimplementasikan standar global untuk minyak kelapa sawit berkelanjutan atau Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).


       • Baca juga : Kali Ini Eropa Tolak Sawit Indonesia Dengan Isu Keamanan Pangan



"CPOPC harus menyelesaikan standar dulu, sekarang standar RSPO itu baru diadopsi oleh Eropa, Indonesia masih pakai standar ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil System) dan Malaysia pakai MSPO (Malaysian Sustainable Palm Oil). Kita tidak bisa menghadapi Eropa dengan multiple standar seperti sekarang ini," ujar Airlangga ditemui di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Jumat (7/2/2020).



Kendalanya, untuk mematenkan standar tersebut perlu kesepakatan bersama antar anggota negara CPOPC itu sendiri. Namun, menurut Airlangga, sejauh ini, antara Indonesia dan Malaysia masih belum mencapai kesepakatan yang sama soal mengganti standar kelapa sawit mereka menjadi standar global.



"Antara Indonesia dan Malaysia sendiri belum duduk, belum sepaham jadi itu dulu yang mesti diselesaikan, dengan itu (standar RSPO) selesai tentu akan memudahkan kampanye kita di negara-negara lain," tuturnya.



Menyandang standar itu penting agar produksi CPO dari negara-negara penghasil minyak kelapa sawit bisa lebih diterima di UE dan negara bagian lainnya. Sekaligus untuk memenangkan gugatan mereka di World Trade Organisation (WTO) terhadap kebijakan diskriminatif UE.



"Itu akan sangat meningkatkan negosiasi power kita, ditambah lagi Indonesia dan Malaysia kan 80% dari total produksinya terpakai di seluruh produk makanan dunia, sehingga kalau Indonesia dan Malaysia mengatakan mau standar ini maka pihak lain (negara anggota CPOPC lainnya) tidak bisa apa-apa," pungkasnya.

Diskriminasi terhadap kelapa sawit oleh Uni Eropa (UE) tak kunjung usai. Kelapa sawit Indonesia terus-menerus ditekan. Terutama ketika Komisi Eropa menyusun berkas Delegation Regulation of ILUC (indirect land use change)-RED II (Renewable Energy Directive) pada 8 Februari 2019 lalu.



Kebijakan tersebut kemudian diterbitkan secara formal pada 13 Maret 2019. Lalu, pada 10 Juni 2019, Uni Eropa resmi mengukuhkan kebijakan tersebut (Delegated Act).



Atas kebijakan tersebut, kelapa sawit dicoret dalam program energi hijau di negara-negara UE. Sehingga, biodiesel berbasis kelapa sawit sudah tidak diperbolehkan di UE pada tahun 2030. Pasalnya, RED II menempatkan kelapa sawit sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan (deforestasi)/(ILUC). ILUC sendiri dinilai cacat ilmiah.



Belum lagi tudingan Uni Eropa terhadap pemerintah Indonesia. Uni Eropa menuding pemerintah memberikan subsidi yang terlalu besar terhadap pengusaha kelapa sawit. Sehingga, ketika kelapa sawit Indonesia diekspor ke Eropa, harganya sangatlah murah.



Keputusan finalnya, Uni Eropa mengenakan tarif ekspor atau bea masuk terhadap 4 perusahaan biodiesel Indonesia sebesar 8-18%. Rencana menggugat Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) pun sudah disiapkan sejak penerbitan ILUC-RED II tersebut. Hingga akhirnya, pada 9 Desember 2019, pemerintah Indonesia resmi menggugat Uni Eropa di WTO melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss.



(***)
Sumber detikcom



Share on Social Media